TUMEKA KAKI SEMAR
GINUBAH DENING : PANEMBAHAN PRAMANA SETA ING GIRIMAYA
dandang gulo
1.
KAKANG SEMAR LAN
ANTAGA KAKI
INGSUN MELING MRING SIRA KALIHNYA
KANG DADYA SESENGGEMANE
NGIRIDA GUNG LELEMBUT
BALA SILUMAN NUSA JAWI
KABYANTOKNA SANG NATA
H E R U C A K R A P R A B U
NATA TEDHAKING BARATA
WIJILIRA ING KETANGGA SONYARURI
SAJRONING ALAS PUDHAK
2.
DUK TIMURNYA BABARAN SURANDHIL
INGKANG IBU TEDHAKING MATARAM
KANG RAMA TRAHING RASULE
G I N A I P M I Y O S I P U N
SANG TUNJUNG SETA JEJULUK NEKI
DUK SIH KINEKER MARANG HYANG
KESAMPAR KESANDUNG
JALMA SAMYA KATAMBUHAN
TAN WIKAN MRING PUDHAK SINUMPET SINANDI
DEWA MANGEJAWANTAH
Paradoks Semar
PARA pencinta wayang kulit Jawa tentu tak asing lagi
dengan tokoh Semar. Setiap pertunjukan tokoh ini selalu hadir. Semar dan
anak-anaknya selalu menjadi pelayan atau pembantu kesatria yang baik, umumnya
Arjuna atau anak Arjuna, penengah Pandawa. Semar adalah sebuah filsafat, baik
etik maupun politik. Di balik tokoh hamba para kesatria ini, terdapat pola
pikir yang mendasarinya.
Tokoh Semar juga disebut Ismaya, yang
berasal dari Manik dan Maya. Manik itu Batara Guru, Maya itu Semar. Batara Guru
menguasai kahiyangan para dewa dan manusia, sedangkan Semar menguasai bumi dan
manusia. Manik dan Maya lahir dari sebuah wujud sejenis telur yang muncul
bersama suara genta di tengah-tengah kekosongan mutlak (suwung-awang-uwung).
Telur itu pecah menjadi kenyataan fenomena, yakni langit
dan bumi (ruang, kulit telur), gelap dan terang (waktu, putih telur), dan
pelaku di dalam ruang dan waktu (kuning telur menjadi Dewa Manik dan Dewa
Maya). Begitulah kisah Kitab Kejadian masyarakat Jawa.
Kenyataannya, ruang-waktu-pelaku itu selalu bersifat dua
dan kembar. Langit di atas, bumi di bawah. Malam yang gelap, dan siang yang
terang. Manik yang tampan dan kuning kulitnya, Semar (Ismaya) yang jelek
rupanya dan hitam kulitnya. Paradoks pelaku semesta itu dapat dikembangkan
lebih jauh dalam rangkaian paradoks-paradoks yang rumit.
Batara Guru itu mahadewa di dunia atas, Semar mahadewa di
dunia bawah. Batara Guru penguasa kosmos (keteraturan) Batara Semar penguasa
keos. Batara Guru penuh etiket sopan santun tingkat tinggi, Batara Semar
sepenuhnya urakan.
Batara Guru simbol dari para penguasa dan raja-raja, Semar
adalah simbol rakyat paling jelata. Batara Guru biasanya digambarkan sering
tidak dapat mengendalikan nafsu-nafsunya, Semar justru sering mengendaikan
nafsu-nafsu majikannya dengan kebijaksanaan – kebijaksanaan. Batara Guru
berbicara dalam bahasa prosa, Semar sering menggunakan bahasa wangsalan
(sastra).
Batara Guru lebih banyak marah dan mengambil keputusan
tergesa-gesa, sebaliknya Semar sering menangis menyaksikan penderitaan
majikannya dan sesamanya serta penuh kesabaran.
Batara Guru ditakuti dan disegani para dewa dan
raja-raja, Semar hanyalah pembantu rumah tangga para kesatria. Batara Guru
selalu hidup di lingkungan yang “wangi”, sedang Semar suka kentut sembarangan.
Batara Guru itu pemimpin, Semar itu rakyat jelata yang paling rendah.
Seabrek paradoks masih dapat ditemukan dalam kisah-kisah
wayang kulit. Pelaku kembar semesta di awal penciptaan ini, Batara Guru dan
Batara Semar, siapakah yang lebih utama atau lebih “tua”? Jawabannya terdapat
dalam kitab Manik-Maya (abad ke-19).
Ketika Batara Semar protes kepada Sang Hyang Wisesa,
mengapa ia diciptakan dalam wujud jelek, dan berkulit hitam legam bagai kain
wedelan (biru-hitam), maka Sang Hyang Wisesa (Sang Hyang Tunggal?) menjawab,
bahwa warna hitam itu bermakna tidak berubah dan abadi; hitam itu untuk
menyamarkan yang sejatinya “ada” itu “tidak ada”, sedangkan yang “tidak ada”
diterka “bukan”, yang “bukan” diterka “ya”.
Dengan demikian Batara Semar lebih “tua” dari adiknya
Batara Guru. Semar itu “kakak” dan Batara Guru itu “adik”, suatu pasangan kembar
yang paradoks pula.
Semar itu lambang gelap gulita, lambang misteri,
ketidaktahuan mutlak, yang dalam beberapa ajaran mistik sering disebut-sebut
sebagai ketidaktahuan kita mengenai Tuhan.
Mengingat genealogi Semar yang semacam itu dalam budaya
Jawa, maka tidak mengherankan bahwa tokoh Semar selalu hadir dalam setiap lakon
wayang, dan merupakan tokoh wayang yang amat dicintai para penggemarnya.
Meskipun dia hamba, rakyat jelata, buruk rupa, miskin, hitam legam, namun di
balik wujud lahir tersebut tersimpan sifat-sifat mulia, yakni mengayomi,
memecahkan masalah-masalah rumit, sabar, bijaksana, penuh humor.
Kulitnya, luarnya, kasar, sedang dalamnya halus. ** DALAM
ilmu politik, Semar adalah pengejawantahan dari ungkapan Jawa tentang
kekuasaan, yakni “manunggaling kawula-Gusti” (kesatuan hamba-Raja). Seorang
pemimpin seharusnya menganut filsafat Semar ini.
Seorang pemimpin sebesar bangsa Indonesia ini harus
memadukan antara atas dan bawah, pemimpin dan yang dipimpin, yang diberi
kekuasaan dan yang menjadi sasaran kekuasaan, kepentingan hukum negara dan
kepentingan objek hukum.
Hukum-hukum negara yang baik dari atas, belum tentu
berakibat baik, kalau yang dari atas itu tidak disinkronkan dengan kepentingan
dan kondisi rakyat. Manunggaling kawula-Gusti. Pemimpin sejati bagi rakyat itu
bukan Batara Guru, tetapi Semar. Pemimpin sejati itu sebuah paradoks.
Semar adalah kakak lebih tua dari Batara Guru yang
terhormat dan penuh etiket kenegaraan-kahiyangan, tetapi ia menyatu dengan
rakyat yang paling papa. Dengan para dewa, Semar tidak pernah berbahasa halus,
tetapi kepada majikan yang diabdinya (rakyat) ia berbahasa halus.
Semar menghormati rakyat jelata lebih dari menghormati
para dewa-dewa pemimpin itu. Semar tidak pernah mengentuti rakyat, tetapi
kerjanya membuang kentut ke arah para dewa yang telah salah bekerja menjalankan
kewajibannya. Semar itu hakikatnya di atas, tetapi eksistensinya di bawah.
Badan halusnya, karakternya, kualitasnya adalah tingkat
tinggi, tetapi perwujudannya sangat merakyat. Semar gampang menangis melihat
penderitaan manusia yang diabdinya, itulah sebabnya wayang Semar matanya selalu
berair. Semar lebih mampu menangisi orang lain daripada menangisi dirinya
sendiri. Pemimpin Semar sudah tidak peduli dan tidak memikirkan dirinya sendiri,
tetapi hanya memikirkan penderitaan orang lain. Ego Semar itu telah lenyap,
digantikan oleh “yang lain”.
Semar itu seharusnya penguasa dunia atas yang paling
tinggi dalam fenomena, tetapi ia memilih berada di dunia bawah yang paling
bawah. Karena penguasa tertinggi, ia menguasai segalanya. Namun, ia memilih
tidak kaya. Semar dan anak-anaknya itu ikut menumpang makan dalang, sehingga
kalau suguhan tuan rumah kurang enak karena ada yang basi, maka Semar mencegah
anak-anaknya, yang melalui dalang, mencela suguhan tuan rumah. Makanan apa pun
yang datang padanya harus disyukuri sebagai anugerah. Batara Semar, di tanah
Sunda, dikenal dalam wujud Batara Lengser.
Lengser, longsor, lingsir, selalu berkonotasi “turun”.
Semar itu adalah pemimpin tertinggi yang turun ke lapis paling bawah. Seorang
pemimpin tidak melihat yang dipimpinnya dari atas singgasananya yang
terisolasi, tetapi melihat dari arah rakyat yang dipimpinnya. Seorang pemimin
tidak menangisi dirinya yang dihujat rakyat, tetapi menangisi rakyat yang
dihujat bawahanbawahannya. Seorang pemimpin tidak marah dimarahi rakyatnya,
tetapi memarahi dirinya akibat dimarahi rakyat.
Pemimpin sejati itu, menurut filsafat Semar, adalah
sebuah paradoks. Seorang pemimpin itu majikan sekaligus pelayan, kaya tetapi tidak
terikat kekayaannya, tegas dalam keadilan untuk memutuskan mana yang benar dan
mana yang salah namun tetap berkasih sayang. Filsafat paradoks kepemimpinan ini
sebenarnya bersumber dari kitab Hastabrata atau Delapan Ajaran Dewa.
Dewa Kekayaan berseberangan dengan Desa Kedermawanan,
yang bermakna seorang pemimpin harus mengusahakan dirinya (dulu, sebagai raja)
agar kaya raya, tetapi kekayaan itu bukan buat dirinya, tetapi buat rakyat yang
dipimpinnya. Pemimpin Indonesia sekarang ini selayaknya seorang enterpreneur
juga, yang lihai menggali kekayaan buat negara. Dewa Keadilan berseberangan
dengan watak Dewa Kasih Sayang.
Seorang pemimpin harus membela kebenaran, keadilan,
tetapi juga mempertimbangkan rasa keadilannya dengan kasih sayang untuk
memelihara kehidupan.
Dewa Api (keberanian) itu berseberangan dengan Dewa Laut
(air), yakni keberaniannya bertindak melindungi rakyatnya didasari oleh
pertimbangan perhitungan dan kebijaksanaan yang dingin-rasional. Dewa Maut
berseberangan dengan watak Dewa Angin.
Menumpas kejahatan dalam negara itu harus dipadukan
dengan ketelitiannya dalam mengumpulkan detail-detail data, bagai angin yang
mampu memasuki ruang mana pun.
Ajaran tua tentang kekuasaan politik bersumber dari
Hastabrata tersebut, dan dimitoskan dalam diri Semar yang paradoks itu. Etika
kekuasaan itu ada dalam diri tokoh Semar. Ia Dewa Tua tetapi menjadi hamba.
Ia berkuasa tetapi melayani. Ia kasar di kalangan atas,
tetapi ia halus di kalangan bawah. Ia kaya raya penguasa semesta, tetapi
memilih memakan nasi sisa. Ia marah kalau kalangan atas bertindak tidak adil,
ia menyindir dalam bahasa metafora apabila yang dilayaninya berbuat salah.
Bentuk badan Semar juga paradoks, seperti perempuan tetapi juga mirip lelaki,
kombinasi ketegasan dan kelembutan
3.
WUS PINASTI KANG MURBENG DUMADI
SANG TUNJUNG SETA KINARYA DHUTA
JUMENENG PARANPARANE
N G A D I L I N U S A N I P U N
NGASTHA DARMANING
UMUM’
KALIS ING MADYANE NDOYA
WUS WINELEG MUKTI WIBAWANING DIRI
ING KETANGGA SILUMAN
4.
SATRU MUNGSUH SAMYA HANGEMASI
TUMPES TAPIS KATAMAN PRABAWA
KASEKTEN SABDA CIPTANE
NGGEGIRISI BALANIPUN
WUJUD KALABANG KALAJENGKING
S I R U L L A H A J I N I P U N
P R A J U R I T L E L E M B U T
IKU KANG WEKAS INGWANG
SIRA NDEREK ANGEMONG ING TEMBE WURI
SANG NATA BINATHARA
5.
WONG CILIK SAMYA SUKA ING ATI
GUMUYU MURAH SANDHANG LAN TEDHA
GUYUB RUKUN SESAMANE
SAMYA MADHEP SUMUJUD
NGARSENG HYANG WIDHI LAN NJENG GHUSTI
W E D I W E W A L A T I R A
WINGITING SANG RATU
MANANGKA JAMAN KENCANA
KAKANG SEMAR GYA TINDAKNA WELING MAMI
NGIRIDTA GUNG LELEMBUT
6.
MANANGKA WELINGE SANG AJI
SRI JAYABAYA NATA BINATHARA
MRING SANG PAMONG KALIHE
KAKANG SEMAR UMATUR
PUKULUN JAYABAYA AJI
PUN KAKANG WUS ANAMPA
KABEH SABDANIPUN
DADYA PASEKSENING JANGKA
MANGEJA WANTAHIRA PADUKA AJI
SANG NATA BINATHAR
7.
JUMENENGIRA GUSTHI PRIBADI
LAMUN JANGKANING NUSA TUMEKA
NORA ENDHAS LAN BUNTUTE
PUN KAKANG WUS SUMAGGUH
NGEMONG SANG TUNJUNG SETA AJI
LAN NGIRID BYANTOKNA
S A G U N G I N G L E L E M B U T
SINEGEG WAWAN SABDANYA
SRI JAYABAYA LAN PAMONGNYA KEKALIH
MECA JANGKANING NUSA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar